Merasakan Lezatnya Iman


Di dunia ini tidak ada yang lebih lezat, selain keimanan yang terpatri kokoh dalam hati. Lezatnya iman teramat sulit untuk diungkapkan dengan kata-kata, kalaupun bisa, kita sebagai pendengar tidak bisa merasakan persis seperti yang ia rasakan. Tetapi jangan khawatir, karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memberikan petunjuk supaya kita semua dapat merasakan lezatnya iman. 

Berikut ini adalah artikel penting dari ustadz Abu Mushlih, yang secara rinci menjelaskan langkah-langkah agar kita dapat merasakan lezatnya iman, sesuai petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Dari al-’Abbas bin Abdul Muthallib radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Akan merasakan lezatnya iman, orang yang ridha; Allah sebagai Rabb, Islam sebagai agama, dan Muhammad sebagai rasul.” (HR. Muslim dalam Kitab al-Iman [34]).

Ridha adalah merasa puas dan cukup dengan sesuatu serta tidak mencari lagi sesuatu yang lain bersamanya. Makna hadits ini adalah; orang tersebut tidak mencari dan berharap kecuali kepada Allah ta’ala semata, tidak mau berusaha kecuali di atas jalan Islam, dan tidak mau menempuh suatu jalan kecuali apabila sesuai dengan syari’at Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Seseorang yang telah merasa ridha dengan sesuatu maka sesuatu itu akan terasa mudah baginya. Demikian pula seorang mukmin apabila iman telah meresap ke dalam hatinya maka akan terasa mudah segala ketaatan kepada Allah dan dia akan merasakan nikmat dengannya (lihat Syarh Muslim [2/86] cet. Dar Ibnu al-Haitsam).

Hadits di atas menunjukkan bahwa orang yang bisa merasakan kelezatan iman adalah yang memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
  1. Ridha Allah sebagai Rabb
  2. Ridha Islam sebagai agama
  3. Ridha Muhammad sebagai rasul

Ciri Pertama:
Ridha Allah Sebagai Rabb

[1] Kandungan Makna Rabb

Imam ar-Raghib al-Ashfahani rahimahullah berkata, “Akar kata dari Rabb adalah tarbiyah; yaitu menumbuhkan sesuatu dari satu keadaan kepada keadaan berikutnya secara bertahap hingga mencapai kesempurnaan.” (lihat al-Mufradat fi Gharib al-Qur’an [1/245]).

Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di rahimahullah berkata, “Rabb artinya adalah yang mentarbiyah seluruh alam; dan alam itu adalah segala sesuatu selain Allah. Tarbiyah itu berupa penciptaan mereka, pemberian berbagai sarana yang Allah sediakan untuk mereka, pemberian nikmat kepada mereka dengan kenikmatan yang sangat agung; yang seandainya mereka tidak mendapatkannya niscaya mereka tidak mungkin bertahan hidup di alam dunia. Nikmat apapun yang ada pada diri mereka adalah bersumber dari Allah ta’ala.” (lihat Taisir al-Karim ar-Rahman, sebagaimana tercantum dalam al-Majmu’ah al-Kamilah [1/34]).

Syaikh Prof. Dr. Ibrahim ar-Ruhaili hafizhahullah berkata, “Rabb menurut bahasa digunakan untuk tiga makna; sayyid/tuan yang dipatuhi, maalik/pemilik atau penguasa, atau sosok yang melakukan ishlah/perbaikan untuk selainnya.” (lihat transkrip ceramah Syarh Tsalatsat al-Ushul milik beliau).

[2] Tarbiyah Umum dan Tarbiyah Khusus

Syaikh as-Sa’di rahimahullah menjelaskan, “Tarbiyah Allah ta’ala kepada makhluk-Nya ada dua macam: umum dan khusus. Tarbiyah yang bersifat umum adalah berupa penciptaan seluruh makhluk, pemberian rizki dan petunjuk kepada mereka menuju kemaslahatan hidup mereka untuk bisa bertahan hidup di alam dunia. Adapun tarbiyah yang bersifat khusus adalah tarbiyah yang Allah berikan kepada para wali-Nya. Allah mentarbiyah mereka dengan keimanan, memberikan taufik kepada mereka untuk itu dan menyempurnakan iman mereka. Allah singkirkan berbagai rintangan dan penghalang yang membatasi antara mereka dengan diri-Nya. Hakikat tarbiyah khusus ini adalah pemberian taufik untuk menggapai segala kebaikan dan penjagaan dari segala keburukan. Barangkali inilah rahasia mengapa kebanyakan doa para nabi itu menggunakan kata Rabb, sebab semua cita-cita dan keinginan mereka berada di bawah kendali rububiyah Allah yang khusus ini. Maka firman-Nya ‘Rabbul ‘alamin’ menunjukkan atas keesaan Allah dalam hal mencipta, mengatur, pemberian nikmat, dan kekayaan-Nya yang maha sempurna. Hal itu sekaligus menggambarkan betapa besarnya kebutuhan seluruh alam ini kepada-Nya, dari segala sisi dan pertimbangan.” (Taisir al-Karim ar-Rahman, lihat al-Majmu’ah al-Kamilah [1/34], lihat juga Tafsir Surah al-Fatihah, hal. 12).

[3] Tauhid Rububiyah

Tauhid rububiyah adalah seorang hamba meyakini bahwa Allah adalah satu-satunya Rabb, Yang Maha Mencipta, Yang Maha Memberikan Rizki, Yang Mengatur segala urusan, yang  memelihara dan menjaga seluruh makhluk dengan segala bentuk nikmat dan Allah pula yang memelihara dan menjaga makhluk-makhluk pilihan-Nya yaitu para nabi dan pengikut mereka dengan bimbingan akidah yang benar, akhlak yang mulia, ilmu-ilmu yang bermanfaat, maupun amal salih. Inilah bentuk tarbiyah (pemeliharaan dan penjagaan) yang bermanfaat bagi hati dan ruh, yang akan membuahkan kebahagiaan di dunia dan di akherat (lihat al-Qaul as-Sadid fi Maqashid at-Tauhid, hal.13).

Allah adalah Rabb alam semesta. Artinya, Allah adalah pencipta dan penguasa alam semesta. Dialah yang melakukan ishlah/perbaikan dan tarbiyah/pemeliharaan dan pembinaan kepada mereka dengan nikmat-nikmat-Nya. Diantara kenikmatan itu -bahkan yang paling agung- adalah diutusnya para rasul dan diturunkannya kitab-kitab. Kemudian Allah pula yang akan memberikan balasan kepada hamba atas amal-amal mereka. Konsekuensi rububiyah Allah adalah berupa perintah dan larangan kepada hamba, balasan atas kebaikan mereka, dan hukuman atas kejahatan mereka. Inilah hakikat rububiyah (lihat at-Tauhid li ash-Shaff al-Awwal al-’Aali, hal. 26).

Secara ringkas, tauhid rububiyah bisa didefinisikan dengan mengesakan Allah dalam hal penciptaan, kekuasaan, dan pengaturan. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Apakah ada pencipta selain Allah yang memberikan rizki kepada kalian dari langit dan bumi?” (QS. Fathir: 3). Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan milik Allah lah kekuasaan atas langit dan bumi.” (QS. Ali ‘Imran: 189). Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Katakanlah: Siapakah yang memberikan rizki kepada kalian dari langit dan bumi, atau siapakah yang menguasai pendengaran dan penglihatan, siapakah yang mengeluarkan yang hidup dari yang mati, siapakah yang mengeluarkan yang mati dari yang hidup, dan siapakah yang mengatur segala urusan. Niscaya mereka akan menjawab, Allah. Maka katakanlah, Lalu mengapa kalian tidak bertakwa.” (QS. Yunus: 31) (lihat al-Qaul al-Mufid ‘ala Kitab at-Tauhid [1/5-6] cet. Maktabah al-’Ilmu, lihat juga Syarh al-Arba’in an-Nawawiyah hal. 34).

Apabila diringkas lagi, bisa disimpulkan bahwa tauhid rububiyah adalah mengesakan Allah dalam hal perbuatan-perbuatan-Nya (lihat al-Jadid fi Syarh Kitab at-Tauhid, hal. 17 karya Syaikh Muhammad bin ‘Abdul ‘Aziz al-Qor’awi, lihat juga Qathfu al-Jana ad-Dani Syarh Muqoddimah Risalah Ibnu Abi Zaid al-Qairuwani, hal. 56 karya Syaikh al-Muhaddits Abdul Muhsin al-’Abbad al-Badr, dan at-Tam-hid li Syarh Kitab at-Tauhid, hal. 6 karya Syaikh Shalih bin Abdul Aziz alu Syaikh hafizhahumullahu).

[4] Orang Musyrik Pun Mengakui Tauhid Rububiyah

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Para rasul mereka pun mengatakan, “Apakah ada keraguan terhadap Allah; padahal Dia lah yang menciptakan langit dan bumi.”.” (QS. Ibrahim: 10). Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan sungguh, jika engkau (Muhammad) tanyakan kepada mereka siapakah yang menciptakan langit dan bumi? Tentu mereka akan menjawab, ‘Yang menciptakannya adalah Dzat Yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui’.” (QS. az-Zukhruf: 9).

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sungguh jika kamu tanyakan kepada mereka siapakah yang menciptakan diri mereka, niscaya mereka menjawab: Allah. Lalu dari mana mereka bisa dipalingkan (dari menyembah Allah).” (QS. az-Zukhruf: 87). Imam Ibnu Abil ‘Izz al-Hanafi rahimahullah berkata, “Sesungguhnya orang-orang musyrik arab dahulu telah mengakui tauhid rububiyah. Mereka pun mengakui bahwa pencipta langit dan bumi ini hanya satu.” (lihat Syarh al-’Aqidah ath-Thahawiyah, hal. 81, lihat juga Fath al-Majid, hal. 16, Tafsir al-Qur’an al-’Azhim [6/201] [7/167]).

[5] Konsekuensi Mengimani Allah Sebagai Rabb

Syaikh Shalih al-Fauzan menjelaskan, “Sebagaimana pula wajib diketahui bahwa pengakuan terhadap tauhid rububiyah saja tidaklah mencukupi dan tidak bermanfaat kecuali apabila disertai pengakuan terhadap tauhid uluhiyah (mengesakan Allah dalam beribadah) dan benar-benar merealisasikannya dengan ucapan, amalan, dan keyakinan…” (lihat Syarh Kasyf asy-Syubuhat, hal. 24-25).

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan tidaklah kebanyakan mereka beriman kepada Allah, melainkan mereka juga terjerumus dalam kemusyrikan.” (QS. Yusuf: 107). Ikrimah berkata, “Tidaklah kebanyakan mereka -orang-orang musyrik- beriman kepada Allah kecuali dalam keadaan berbuat syirik. Apabila kamu tanyakan kepada mereka siapakah yang menciptakan langit dan bumi? Maka mereka akan menjawab, ‘Allah’. Itulah keimanan mereka, namun di saat yang sama mereka juga beribadah kepada selain-Nya.” (lihat Fath al-Bari [13/556]).

Syaikh Abdurrazzaq al-Badr hafizhahullah berkata, “Kemudian, sesungguhnya keimanan seorang hamba kepada Allah sebagai Rabb memiliki konsekuensi mengikhlaskan ibadah kepada-Nya serta kesempurnaan perendahan diri di hadapan-Nya. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan Aku adalah Rabb kalian, maka sembahlah Aku.” (QS. al-Anbiya’: 92). Allah ta’ala juga berfirman (yang artinya), “Wahai umat manusia, sembahlah Rabb kalian.” (QS. al-Baqarah: 21). Keberadaan Allah sebagai Rabb seluruh alam memiliki konsekuensi bahwa Allah tidak akan meninggalkan mereka dalam keadaan sia-sia atau dibiarkan begitu saja tanpa ada perintah dan larangan untuk mereka. Akan tetapi Allah menciptakan mereka untuk mematuhi-Nya dan Allah mengadakan mereka supaya beribadah kepada-Nya. Maka orang yang berbahagia diantara mereka adalah yang taat dan beribadah kepada-Nya. Adapun orang yang celaka adalah yang durhaka kepada-Nya dan lebih memperturutkan kemauan hawa nafsunya. Barangsiapa yang beriman terhadap rububiyah Allah dan ridha Allah sebagai Rabb maka dia akan ridha terhadap perintah-Nya, ridha terhadap larangan-Nya, ridha terhadap apa yang dibagikan kepadanya, ridha terhadap takdir yang menimpanya, ridha terhadap pemberian Allah kepadanya, dan tetap ridha kepada-Nya tatkala Allah tidak memberikan kepadanya apa yang dia inginkan.” (lihat Fiqh al-Asma’ al-Husna, hal. 97).

Ibnul Qoyyim rahimahullah berkata, “Manusia itu, sebagaimana telah dijelaskan sifatnya oleh Yang menciptakannya. Pada dasarnya ia suka berlaku zalim dan bersifat bodoh. Oleh sebab itu, tidak sepantasnya dia menjadikan kecenderungan dirinya, rasa suka, tidak suka, ataupun kebenciannya terhadap sesuatu sebagai standar untuk menilai perkara yang berbahaya atau bermanfaat baginya. Akan tetapi sesungguhnya standar yang benar adalah apa yang Allah pilihkan baginya, yang hal itu tercermin dalam perintah dan larangan-Nya.” (lihat al-Fawa’id, hal. 89).

[6] Makna ‘Ridha Allah Sebagai Rabb’ 

Dari keterangan-keterangan para ulama di atas, dapat kita simpulkan bahwa yang dimaksud dengan ridha Allah sebagai Rabb mencakup hal-hal sebagai berikut:
  1. Meyakini bahwa seluruh kenikmatan -jasmani maupun ruhani- adalah bersumber dari Allah
  2. Meyakini bahwa segala sesuatu yang ada di alam dunia ini adalah ciptaan dari-Nya
  3. Meyakini bahwa segala kejadian yang ada di alam dunia ini adalah terjadi dengan kehendak-Nya. Allah lah yang mengatur segalanya dan Allah yang paling mengetahui tentangnya.
  4. Meyakini bahwa Allah adalah penguasa tunggal alam semesta, Dia lah yang berhak memerintah dan melarang atas hamba-hamba-Nya, dan Dia lah yang akan memberikan balasan dan hukuman atas amal perbuatan mereka
  5. Meyakini bahwa Allah telah menurunkan kitab-kitab dan mengutus para rasul yang menjadi pembimbing umat manusia untuk menggapai kebahagiaan hidup yang sejati
  6. Meyakini bahwa Allah semata yang berhak untuk diibadahi, yang menjadi tumpuan harapan, dan tempat bergantungnya hati. Tidak ada sekutu bagi-Nya dalam hal itu semua
  7. Memurnikan segala macam bentuk ibadah kepada-Nya serta meninggalkan dan mengingkari segala bentuk peribadatan kepada selain-Nya
  8. Menaati perintah dan larangan-Nya serta mengimani pahala dan siksa yang diberikan-Nya
  9. Merasa ridha dengan takdir dan musibah yang ditetapkan oleh-Nya

Ciri Kedua:
Ridha Islam Sebagai Agama

[1] Kandungan Makna Islam

Secara bahasa islam artinya adalah menyerahkan diri. Adapun menurut syari’at, islam adalah sikap pasrah kepada Allah dengan mentauhidkan-Nya, tunduk kepada-Nya dengan melaksanakan ketaatan, dan berlepas diri dari syirik dan pelakunya (lihat at-Tauhid li ash-Shaff al-Awwal al-’Aali, hal. 62).

Dari Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu’anhuma, beliau berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Islam dibangun di atas lima perkara: syahadat bahwa tidak ada sesembahan -yang benar- selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah –dalam riwayat lain syahadat diungkapkan dengan kata-kata: mentauhidkan Allah, dalam riwayat lain lagi disebutkan: beribadah kepada Allah dan mengingkari sesembahan selain-Nya–, mendirikan sholat, menunaikan zakat, berhaji, dan berpuasa Ramadhan.” (HR. Bukhari dalam Kitab al-Iman [8] dan Muslim dalam Kitab al-Iman [16]).

[2] Pokok Ajaran Islam

Islam ditegakkan di atas dua prinsip pokok. Pertama; beribadah kepada Allah semata. Kedua; beribadah kepada Allah hanya dengan syari’at-Nya. Kedua hal ini telah tercakup di dalam dua kalimat syahadat yang kita ucapkan: asyhadu an laa ilaha illallah wa asyhadu anna Muhammadar rasulullah. “Aku bersaksi bahwa tidak ada sesembahan -yang benar- selain Allah, dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah.” 

Kalimat laa ilaha illallah bermakna tidak ada yang berhak diibadahi kecuali Allah. Maka seluruh sesembahan yang diibadahi oleh manusia selain Allah adalah sesembahan yang batil. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Demikian itulah, karena sesungguhnya Allah itu adalah -sesembahan- yang benar. Adapun segala yang mereka seru/sembah selain-Nya adalah batil.” (QS. al-Hajj: 62). Adapun kalimat Muhammadur rasulullah bermakna tidak ada orang yang menjadi pedoman dalam hal syari’at selain Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Barangsiapa yang menaati rasul itu maka sesungguhnya dia telah taat kepada Allah.” (QS. an-Nisaa’: 80).

Oleh karena itu amalan yang diterima di sisi Allah adalah yang memenuhi dua syarat: ikhlas (tidak syirik) dan ittiba’/mengikuti tuntunan (bukan bid’ah). Kedua hal inilah yang dimaksud oleh firman Allah ta’ala (yang artinya), “Maka barangsiapa yang mengharapkan perjumpaan dengan Allah, hendaklah dia melakukan amal salih dan tidak mempersekutukan dalam beribadah kepada Rabbnya dengan sesuatu apapun.” (QS. al-Kahfi: 110). Fudhail bin Iyadh rahimahullah berkata, “Sesungguhnya amalan jika ikhlas namun tidak benar maka tidak akan diterima. Demikian pula apabila amalan itu benar tapi tidak ikhlas juga tidak diterima sampai ia ikhlas dan benar. Ikhlas itu jika diperuntukkan bagi Allah, sedangkan benar jika berada di atas Sunnah/tuntunan.” (lihat Jami’ al-’Ulum wa al-Hikam, hal. 19 cet. Dar al-Hadits).

[3] Pondasi Ajaran Islam

Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Iman itu terdiri dari tujuh puluh lebih atau enam puluh lebih cabang. Yang paling utama adalah ucapan laa ilaha illallah, yang paling rendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalan, dan rasa malu adalah salah satu cabang keimanan.” (HR. Bukhari dalam Kitab al-Iman [9] dan Muslim dalam Kitab al-Iman [35], lafal ini milik Muslim). Imam an-Nawawi rahimahullah berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menegaskan bahwa yang paling utama di antara semua cabang itu adalah tauhid; yang hukumnya wajib atas setiap orang, dan tidaklah dianggap sah cabang-cabang iman yang lain kecuali setelah sahnya hal ini.” (lihat Syarh Muslim [2/88] cet. Dar Ibnul Haitsam).

Syaikh Abdul Malik Ramadhani hafizhahullah berkata, “Tauhid ini memiliki kedudukan penting laksana pondasi bagi suatu bangunan.” (lihat Sittu Durar min Ushul Ahli al-Atsar, hal. 13). Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Manakah yang lebih baik; orang yang menegakkan bangunannya di atas pondasi ketakwaan kepada Allah dan keridhaan-Nya, ataukah orang yang menegakkan bangunannya di atas tepi jurang yang akan runtuh dan ia pun akan runtuh bersamanya ke dalam neraka Jahannam.” (QS. at-Taubah: 109).

Syaikh Abdul Malik Ramadhani hafizhahullah berkata, “Hal itu dikarenakan ayat ini turun berkenaan dengan kaum munafikin yang membangun masjid untuk sholat padanya. Akan tetapi tatkala mereka tidak membarengi amalan yang agung dan utama ini -yaitu membangun masjid- dengan keikhlasan yang tertanam di dalam hatinya, maka amalan itu sama sekali tidak memberikan manfaat bagi mereka. Bahkan, justru amalan itu yang akan menjerumuskan mereka jatuh ke dalam Jahannam, sebagaimana ditegaskan di dalam ayat tersebut.” (lihat Sittu Durar min Ushul Ahli al-Atsar, hal. 13).

[4] Agama Para Nabi

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Ibrahim bukanlah Yahudi atau Nasrani, tetapi dia adalah seorang yang hanif/bertauhid dan seorang muslim, dan dia bukanlah termasuk golongan orang-orang musyrik.” (QS. Ali Imran: 67). Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “… Maka ikutilah millah Ibrahim yang lurus, dan tidaklah dia termasuk golongan orang-orang musyrik.” (QS. Ali Imran: 95). Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Kemudian Kami wahyukan kepadamu; hendaklah kamu mengikuti millah Ibrahim yang lurus itu, dan dia bukanlah termasuk golongan orang-orang musyrik.” (QS. an-Nahl: 123). Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Katakanlah (Muhammad), ‘Sesungguhnya Tuhanku telah memberiku petunjuk ke jalan yang lurus, agama yang benar, agama/millah Ibrahim yang lurus. Dia (Ibrahim) tidak termasuk orang-orang musyrik.’.” (QS. al-An’am: 161).

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sungguh telah ada teladan yang baik untuk kalian pada diri Ibrahim dan orang-orang yang bersamanya, yaitu ketika mereka berkata kepada kaumnya, Sesungguhnya kami berlepas diri dari kalian dan dari segala yang kalian sembah selain Allah. Kami mengingkari kalian, dan telah jelas antara kami dengan kalian permusuhan dan kebencian untuk selama-lamanya, sampai kalian mau beriman kepada Allah saja…” (QS. al-Mumtahanah: 4).

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sungguh Kami telah mengutus kepada setiap umat seorang rasul yang mengajak; Sembahlah Allah dan jauhilah thaghut.” (QS. an-Nahl: 36). Allah ta’ala juga berfirman (yang artinya), “Tidaklah Kami mengutus seorang pun rasul sebelum engkau -wahai Muhammad- melainkan Kami wahyukan kepadanya bahwasanya tidak ada sesembahan -yang benar- selain Aku, maka sembahlah Aku saja.” (QS. al-Anbiyaa’: 25).

[5] Islam Telah Sempurna

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Pada hari ini telah Aku sempurnakan untuk kalian agama kalian, Aku telah cukupkan nikmat-Ku atas kalian, dan Aku telah ridha Islam sebagai agama bagi kalian.” (QS. al-Ma’idah: 3). Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Ini adalah nikmat terbesar dari Allah ta’ala untuk umat ini. Dimana Allah ta’ala telah menyempurnakan untuk mereka agama mereka sehingga mereka tidak membutuhkan lagi agama selainnya, dan juga tidak butuh nabi selain nabi mereka -semoga salawat dan keselamatan terus terlimpah kepada beliau-. Oleh sebab itulah Allah ta’ala menjadikan beliau sebagai penutup nabi-nabi dan diutus kepada segenap jin dan manusia…” (lihat Tafsir al-Qur’an al-’Azhim [3/20]).

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Barangsiapa yang mencari agama selain Islam maka tidak akan diterima darinya, dan kelak di akherat dia akan termasuk golongan orang-orang yang merugi.” (QS. Ali Imran: 85). Syaikh as-Sa’di rahimahullah berkata, “Artinya, siapa pun yang beragama kepada Allah dengan selain agama Islam padahal Islam itu jelas-jelas telah diridhai oleh Allah bagi hamba-hamba-Nya, maka amalannya pasti tertolak dan tidak akan diterima. Agama Islam itulah ajaran yang mengandung sikap kepasrahan/istislam kepada Allah dengan penuh keikhlasan dan ketundukan kepada rasul-rasul-Nya. Oleh sebab itu, selama seorang hamba tidak memeluk agama ini maka dia belum memiliki sebab keselamatan dari azab Allah dan tidak memiliki sebab untuk meraih kejayaan berupa limpahan pahala dari-Nya. Dan semua agama selainnya adalah batil.” (lihat Taisir al-Karim ar-Rahman, hal. 137).

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya agama yang diterima di sisi Allah hanyalah Islam.” (QS. Ali Imran: 19). Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan, “Ini adalah berita dari Allah ta’ala bahwa tidak ada agama yang diterima di sisi-Nya dari siapa pun selain agama Islam. Hakikat  Islam adalah mengikuti para rasul dengan menjalankan ajaran yang diturunkan Allah kepada mereka di setiap masa sampai akhirnya mereka -para rasul- ditutup dengan diutusnya Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menutup semua jalan menuju-Nya kecuali jalan Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Barangsiapa yang bertemu dengan Allah setelah diutusnya Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam keadaan memeluk agama selain yang disyari’atkan oleh beliau maka tidak diterima…” (lihat Tafsir al-Qur’an al-’Azhim [2/19] cet. Maktabah at-Taufiqiyah).

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan katakanlah kepada orang-orang yang telah diberikan al-Kitab (Yahudi dan Nasrani) dan kaum yang ummi/buta huruf (yaitu orang-orang musyrik); ”Maukah kalian masuk Islam?”. Apabila mereka masuk Islam, sungguh mereka telah mendapatkan petunjuk. Namun apabila mereka justru berpaling, maka sesungguhnya kewajibanmu hanyalah menyampaikan. Allah Maha melihat semua hamba.” (QS. Ali Imran: 20). Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Ayat ini dan juga ayat-ayat lain yang serupa merupakan penunjukan yang sangat tegas mengenai keumuman pengutusan beliau -semoga salawat dan keselamatan tercurah kepadanya- kepada semua manusia sebagaimana hal itu telah diketahui sebagai bagian dari agama secara pasti, sebagaimana yang ditunjukkan oleh dalil al-Kitab maupun as-Sunnah dalam banyak ayat dan hadits.” (lihat Tafsir al-Qur’an al-’Azhim [2/20]).

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Tidaklah Muhammad itu adalah bapak dari salah seorang lelaki di antara kalian, akan tetapi dia adalah utusan Allah dan penutup nabi-nabi.” (QS. al-Ahzab: 40). Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Demi Tuhan yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya. Tidaklah seorang pun yang mendengar kenabianku dari kalangan umat ini, entah dia Yahudi atau Nasrani, lalu dia tidak mau beriman terhadap ajaran yang aku bawa melainkan kelak dia pasti termasuk penduduk neraka.” (HR. Muslim dalam Kitab al-Iman [153]). Imam an-Nawawi rahimahullah berkata, “Di dalam hadits ini terdapat kandungan hukum bahwasanya semua agama telah dihapuskan pemberlakuannya dengan adanya risalah Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (lihat Syarh Muslim [2/245]).

[6] Makna ‘Ridha Islam Sebagai Agama’

Dari keterangan-keterangan di atas kita dapat menyimpulkan bersama bahwa yang dimaksud dengan ridha Islam sebagai agama itu meliputi hal-hal sebagai berikut:
  1. Beribadah hanya kepada Allah dan mengingkari segala bentuk peribadahan kepada selain Allah
  2. Meyakini bahwa Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah utusan Allah
  3. Meyakini wajibnya rukun Islam, yaitu: syahadat, sholat, zakat, puasa, dan haji
  4. Meyakini bahwa ibadah tidak akan diterima apabila tidak ikhlas atau tidak mengikuti tuntunan
  5. Meyakini tauhid sebagai pondasi agama Islam yang tidak akan sah amal apapun tanpanya
  6. Meyakini bahwa agama para nabi adalah satu -yaitu islam- meskipun syari’atnya berlainan
  7. Meyakini bahwa asas agama para nabi adalah tauhid
  8. Meyakini bahwa seluruh agama yang ada telah dihapuskan dengan ajaran Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam
  9. Meyakini kesempurnaan ajaran Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, sehingga ia tidak memerlukan penambahan atau koreksi

Ciri Ketiga:
Ridha Muhammad Sebagai Rasul

[1] Anugerah Risalah

Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, “Allah Yang Maha Suci telah memberikan karunia dua perkara agung kepada keturunan Adam. Kedua hal itu merupakan pokok kebahagiaan. Pertama; Setiap bayi yang terlahir berada di atas fitrah (tauhid). Setiap jiwa apabila dibiarkan begitu saja niscaya ia akan mengakui bahwasanya Allah adalah ilah/sesembahan baginya. Ia akan mencintai-Nya dan akan menyembah-Nya tanpa mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apapun. Akan tetapi karena adanya bisikan setan dari kalangan jin dan manusia satu sama lain itulah yang menyebabkan kebatilan di mata mereka seolah menjadi sesuatu yang tampak indah dan menawan. Kedua; Allah ta’ala telah memberikan petunjuk kepada umat manusia dengan bimbingan yang bersifat umum. Sehingga di dalam diri mereka secara fitrah telah terpatri pengenalan -kepada kebenaran- dan sebab-sebab guna meraih ilmu. Setelah itu, Allah pun menurunkan kitab-kitab suci dan mengutus para rasul sebagai pembimbing bagi mereka.” (lihat Mawa’izh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, hal. 35).

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sungguh Allah telah memberikan karunia kepada orang-orang yang beriman, ketika Allah mengutus di tengah-tengah mereka seorang rasul dari kalangan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, yang mensucikan jiwa mereka, dan mengajarkan kepada mereka al-Kitab dan al-Hikmah (as-Sunnah), sementara sebelumnya mereka berada di dalam kesesatan yang amat nyata.” (QS. Ali Imran: 164).

Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Risalah adalah kebutuhan yang sangat mendesak bagi hamba. Mereka benar-benar membutuhkannya. Kebutuhan mereka terhadapnya jauh di atas segala jenis kebutuhan. Risalah adalah ruh, cahaya, dan kehidupan alam semesta. Maka kebaikan seperti apa yang ada pada alam tanpa ruh, tanpa cahaya, dan tanpa kehidupan?” (lihat Ma’alim Ushul al-Fiqh ‘inda Ahlis Sunnah wa al-Jama’ah, hal. 78 karya Dr. Muhammad bin Husain al-Jizani).

[2] Sumber Kehidupan Hakiki

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan Rasul, ketika menyeru kalian untuk sesuatu yang akan menghidupkan kalian. Ketahuilah, sesungguhnya Allah yang menghalangi antara seseorang dengan hatinya. Dan sesungguhnya kalian akan dikumpulkan untuk bertemu dengan-Nya.” (QS. al-Anfal: 24).

Ibnul Qoyyim rahimahullah mengatakan, “Sesungguhnya kehidupan yang membawa manfaat hanya bisa digapai dengan merespon seruan Allah dan rasul-Nya. Barang siapa yang tidak merespon seruan tersebut maka tidak ada kehidupan sejati padanya. Meskipun dia memiliki kehidupan ala binatang yang tidak ada bedanya antara dirinya dengan hewan yang paling rendah sekalipun. Oleh sebab itu kehidupan yang hakiki dan baik adalah kehidupan orang yang memenuhi seruan Allah dan rasul-Nya secara lahir dan batin. Mereka itulah orang-orang yang benar-benar hidup, walaupun tubuh mereka telah mati. Adapun selain mereka adalah orang-orang yang telah mati, meskipun badan mereka hidup. Oleh karena itu orang yang paling sempurna kehidupannya adalah yang paling sempurna di antara mereka dalam memenuhi seruan dakwah Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena sesungguhnya di dalam setiap ajaran yang beliau dakwahkan terkandung unsur kehidupan sejati. Barang siapa yang kehilangan sebagian darinya maka dia kehilangan sebagian unsur kehidupan, bisa jadi di dalam dirinya masih terdapat kehidupan sekadar dengan responnya terhadap ajakan Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (lihat al-Fawa’id, hal. 85-86 cet. Dar al-’Aqidah).

[3] Kasih Sayang Rasul Kepada Umatnya

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sungguh telah datang kepada kalian seorang rasul dari kalangan kalian. Terasa berat baginya apa yang menyusahkan kalian. Dia sangat bersemangat memberikan kebaikan kepada kalian. Dan terhadap orang-orang yang beriman dia sangat lembut dan penyayang.” (QS. at-Taubah: 128).

Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, beliau berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Setiap Nabi memiliki sebuah doa yang mustajab, maka semua Nabi bersegera mengajukan doanya itu. Adapun aku menunda doaku itu sebagai syafa’at bagi umatku kelak di hari kiamat. Doa -syafa’at- itu -dengan kehendak Allah- akan diperoleh setiap orang di antara umatku yang meninggal dan tidak mempersekutukan Allah dengan sesuatu apapun.” (HR. Muslim dalam Kitab al-Iman [199]).

Dari Urwah, suatu ketika ‘Aisyah radhiyallahu’anha -istri Nabi- menceritakan kepadanya, bahwa dia pernah bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Pernahkah anda menemui suatu hari yang lebih berat daripada hari Uhud?”. Beliau menjawab, “Aku telah mendapatkan tanggapan dari kaummu sebagaimana apa yang aku temui. Tanggapan paling berat yang pernah aku dapatkan adalah pada hari ‘Aqabah, ketika itu aku tawarkan diriku kepada Ibnu Abdi Yalil bin Abdi Kulal, akan tetapi dia tidak menerima tawaranku sebagaimana yang aku kehendaki. Aku pun kembali dengan perasaan sedih mewarnai wajahku. Tanpa terasa tiba-tiba aku sudah berada di Qarn Tsa’alib. Aku angkat kepalaku ke atas, ternyata ada awan yang sedang menaungi diriku. Aku pun memperhatikan, ternyata di sana ada Jibril, lalu dia pun memanggilku. Dia berkata, ‘Sesungguhnya Allah telah mendengar ucapan kaummu terhadapmu dan penolakan yang mereka lakukan terhadapmu. Dan Allah telah mengutus kepadamu malaikat penjaga gunung, agar kamu perintahkan kepadanya apa yang ingin kau timpakan kepada mereka.’ Maka malaikat penjaga gunung itu pun menyeruku dan mengucapkan salam kepadaku, lalu dia berkata, ‘Wahai Muhammad’. Dia berkata, ‘Apabila kamu menginginkan hal itu, niscaya akan aku timpakan kepada mereka dua bukit besar itu.’.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam justru menjawab, “Tidak, sesungguhnya aku berharap mudah-mudahan Allah mengeluarkan dari tulang sulbi keturunan mereka orang-orang yang menyembah Allah semata dan tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apapun.” (HR. Bukhari dalam Kitab Bad’u al-Khalq [3231]).

Dari Abdullah bin Amr bin al-’Ash radhiyallahu’anhuma, beliau menceritakan: Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca firman Allah ‘azza wa jalla mengenai Ibrahim (yang artinya), “Wahai Rabbku, sesungguhnya berhala-berhala itu telah banyak menyesatkan manusia, barangsiapa yang mengikutiku maka sesungguhnya dia adalah termasuk golonganku.” (QS. Ibrahim: 36). ‘Isa ‘alaihis salam juga berkata (yang artinya), “Jika Engkau menyiksa mereka, sesungguhnya mereka itu adalah hamba-hamba-Mu, dan apabila Engkau mengampuni mereka, sesungguhnya Engkau Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. al-Ma’idah: 118). Kemudian beliau mengangkat kedua tangannya seraya berdoa, “Ya Allah, umatku, umatku.” Dan beliau pun menangis. Allah ‘azza wa jalla berfirman, “Wahai Jibril, pergi dan temuilah Muhammad -sedangkan Rabbmu tentu lebih mengetahui- lalu tanyakan kepadanya, apa yang membuatmu menangis?”. Maka Jibril ‘alaihis sholatu was salam menemui beliau dan bertanya kepadanya, lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberitakan kepadanya tentang apa yang telah diucapkannya -dan Dia (Allah) tentu lebih mengetahuinya-. Kemudian Allah berfirman, “Wahai Jibril, pergi dan temuilah Muhammad, dan katakan kepadanya, ‘Sesungguhnya Kami pasti akan membuatmu ridha berkenaan dengan nasib umatmu, dan Kami tidak akan membuatmu bersedih.’.” (HR. Muslim dalam Kitab al-Iman [202]).

Sa’id bin al-Musayyab meriwayatkan dari ayahnya, beliau menceritakan: Ketika kematian hendak menghampiri Abu Thalib, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun datang kepadanya. Di sana beliau mendapati Abu Jahal dan Abdullah bin Umayyah bin al-Mughirah telah berada di sisinya. Kemudian beliau berkata, “Wahai pamanku. Ucapkanlah laa ilaha illallah; sebuah kalimat yang aku akan bersaksi dengannya untuk membelamu kelak di sisi Allah.” Abu Jahal dan Abdullah bin Umayyah berkata, “Wahai Abu Thalib, apakah kamu membenci agama Abdul Muthallib?”. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam terus menerus menawarkan syahadat kepadanya, sedangkan mereka berdua pun terus mengulangi ucapan itu. Sampai akhirnya ucapan terakhir Abu Thalib kepada mereka adalah dia tetap berada di atas agama Abdul Muthallib. Dia enggan mengucapkan laa ilaha illallah… (HR. Bukhari dalam Kitab al-Jana’iz [1360] dan Muslim dalam Kitab al-Iman [24]).

[4] Konsekuensi Iman Kepada Rasul

Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah berkata, “Makna syahadat bahwasanya Muhammad adalah utusan Allah yaitu mentaati segala perintahnya, membenarkan berita yang disampaikannya, menjauhi segala yang dilarang dan dicegah olehnya, dan tidak beribadah kepada Allah kecuali dengan syari’atnya.” (lihat Hushul al-Ma’mul bi Syarh Tsalatsat al-Ushul, hal. 116).

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan tidaklah Kami utus seorang rasul pun melainkan supaya ditaati dengan izin Allah.” (QS. an-Nisaa’: 64). Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Apa saja yang dibawa oleh rasul kepada kalian maka ambillah, dan apa saja yang dilarang olehnya kepada kalian maka tinggalkanlah.” (QS. al-Hasyr: 7).

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan tidaklah dia -Muhammad- berbicara dari hawa nafsunya, tidaklah hal itu melainkan wahyu yang diwahyukan kepadanya.” (QS. an-Najm: 3-4). Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan ikutilah dia (rasul) mudah-mudahan kalian mendapatkan petunjuk.” (QS. al-A’raaf: 158). Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Apabila mereka tidak mau memenuhi seruanmu (Muhammad), maka ketahuilah bahwa sesungguhnya mereka itu mengikuti hawa nafsunya. Dan siapakah orang yang lebih sesat daripada orang yang mengikuti hawa nafsunya tanpa petunjuk dari Allah.” (QS. al-Qashash: 50).

Allah ta’ala juga berfirman (yang artinya), “Hendaknya merasa takut orang-orang yang menyelisihi urusan rasul itu, karena mereka akan tertimpa fitnah atau merasakan siksaan yang sangat pedih.” (QS. an-Nur: 63). Allah ta’ala juga berfirman (yang artinya), “Tidak pantas bagi seorang beriman lelaki ataupun perempuan apabila Allah dan rasul-Nya telah memutuskan suatu perkara kemudian ternyata masih ada bagi mereka pilihan yang lain dalam menyelesaikan urusan mereka.” (QS. al-Ahzab: 36). Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Kemudian, apabila kalian berselisih tentang perkara apa saja maka kembalikanlah kepada Allah dan rasul, apabila kalian benar-benar beriman kepada Allah dan hari akhir.” (QS. an-Nisaa’: 59).

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Barangsiapa yang taat kepada rasul, sesungguhnya dia telah taat kepada Allah.” (QS. an-Nisaa’: 80). Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Maka demi Rabbmu, mereka sama sekali tidak beriman sampai mereka mau menjadikan kamu sebagai hakim/pemutus perkara dalam apa yang mereka perselisihkan di antara mereka, kemudian mereka tidak lagi mendapati rasa sempit di dalam diri mereka atas apa yang kamu putuskan dan mereka pun pasrah secara sepenuhnya.” (QS. an-Nisaa’: 65).

[5] Makna ‘Ridha Muhammad Sebagai Rasul’

Berdasarkan keterangan-keterangan di atas, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan ridha Muhammad sebagai rasul adalah mencakup hal-hal sebagai berikut:
  1. Meyakini bahwa diutusnya Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam merupakan anugerah dan karunia terbesar bagi umat manusia
  2. Meyakini bahwa kebutuhan umat manusia terhadap bimbingan rasul (risalah) adalah di atas segala kebutuhan mereka
  3. Meyakini bahwa kehidupan yang sejati dan kebahagiaan yang hakiki hanya bisa digapai dengan  memenuhi seruan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
  4. Meyakini betapa besar kasih sayang Rasul kepada umatnya dan semangat beliau yang begitu besar dalam rangka memberikan hidayah kepada mereka
  5. Meyakini kebenaran berita yang disampaikan olehnya
  6. Meyakini wajibnya menaati perintahnya dan menjauhi larangannya, dan bahwasanya hal itu termasuk dalam ketaatan kepada Allah
  7. Meyakini bahwa ibadah kepada Allah -seikhlas apapun- tidak akan diterima oleh-Nya apabila tidak sesuai dengan syari’at dan ajaran beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam
  8. Menerima segala ketetapan beliau dengan penuh kepasrahan
  9. Menjadikan sabda dan ketetapan beliau sebagai rujukan dalam menyelesaikan segala macam perselisihan serta menjunjung tinggi sabda-sabdanya di atas seluruh ucapan manusia.****

Semoga bermanfaat 
Syukran, jazaakallahu khairan katsiran untuk ustadz Abu Mushlih (author).

Wassalam 
Isha Merdeka

Tidak ada komentar: