Murad Wilfried Hoffman: Kisah Islamnya Mantan Direktur NATO (2/3)


Saat wawancara tersebut disiarkan, seketika gemparlah seluruh media massa dan masyarakat Jerman. Dan serentak mereka mencerca dan menggugat Hoffman, hingga mereka membaca buku tersebut.

Hal ini tidak hanya dilakukan oleh media massa murahan yang kecil, namun juga oleh media massa yang besar semacam Der Spigel. Malah pada kesempatan yang lain, televisi Jerman men-shooting Murad Hoffman saat ia sedang melaksanakan shalat di atas sajadahnya, di kantor Duta Besar Jerman di Maroko.

Kemudian reporter TV tersebut berkomentar: "Apakah logis jika Jerman berubah menjadi Negara Islam yang tunduk terhadap hukum Tuhan?"

Hoffman tersenyum mendengar komentar sang reporter. ''Jika aku telah berhasil mengemukakan sesuatu, maka sesuatu itu adalah suatu realitas yang pedih.'' Artinya, beliau paham bahwa keislamannya akan membuat warga Jerman marah. Namun ia sadar, segala sesuatu harus ia hadapi apapun resikonya. Dan baginya, Islam adalah agama yang rasional dan maju.

Sebagai seorang diplomat, pemikiran Hoffman terkenal sangat brilian. Karena itu pula, ia menambah nama depannya dengan Murad, yang berarti yang dicari. Leopold Weist, seorang Muslim Austria yang kemudian berganti nama menjadi Muhammad Asad, mengatakan, dalam pengertian luas, Murad adalah tujuan, yaitu tujuan tertinggi Wilfried Hoffman.


Beberapa alasan Hoffman memilih Islam

Keislaman Hoffman dilandasi oleh rasa keprihatinannya pada dunia barat yang mulai kehilangan moral. Agama yang dulu dianutnya dirasakannya tak mampu mengobati rasa kekecewaan dan keprihatinannya akan kondisi tersebut.

Apalagi, ketika ia bertugas menjadi Atase di Kedutaan besar Jerman di Aljazair (1961),  saat ia berada di tengah-tengah perang gerilya antara tentara Prancis dan Front Nasional Aljazair yang berjuang untuk kemerdekaan Aljazair, ia menyaksikan sikap umat Islam Aljazair yang begitu sabar, kuat dan tabah menghadapi berbagai macam ujian dan cobaan dari umat lain. Atas dasar itu, dan sikap orang Eropa yang mulai kehilangan jati diri dan moralnya, Hoffman memutuskan untuk memeluk Islam.

Pengalaman kedua yang membawa dirinya kepada Islam adalah seni dalam Islam. ''Islam punya beragam kesenian yang sangat menarik dan indah, termasuk seni arsitekturnya. Hampir semua ruangan dimanifestasikan dalam seni keindahan Islam yang universal. Mulai dari kaligrafi, pola karpet, ruang bangunan dan arsitektur masjid, menunjukkan kuatnya seni Islam,'' jelasnya.

Lebih dari itu semua, yang membuat dampak signifikan pada usahanya mencari kebenaran adalah pengetahuan yang mendalam tentang sejarah Kristen dan doktrin. Dia menyadari bahwa ada perbedaan yang signifikan antara apa yang di imani oleh seorang Kristen yang taat dan apa yang diajarkan oleh para profesor sejarah di universitas.

Dia merasa terganggu oleh doktrin yang di adopsi oleh Gereja, terutama tentang doktrin-doktrin yang didirikan oleh Paulus dalam preferensi tentang sejarahnya Yesus. "Dia, yang tidak pernah bertemu Yesus, tetapi dengan kristologi ekstrimnya bahkan menggantikan pandangan Judeo-Christian yang asli dan benar atas diri Yesus.

Sulit baginya untuk menerima bahwa manusia dibebani dengan "dosa asal" dan bahwa Tuhan harus memiliki anak dan anaknya sendiri kemudian disiksa dan dibunuh di kayu salib untuk menyelamatkan ciptaannya sendiri.
"Saya mulai menyadari betapa mengerikan, bahkan ini adalah penghujatan meskipun hanya membayangkan bahwa Tuhan dapat jatuh sementara menjadi sama dengan ciptaan-Nya, bahwa Tuhan bisa saja tidak mampu melakukan apa-apa terhadap bencana yang diduga disebabkan oleh Adam dan Hawa bila tidak memperanakan diri, yang anaknya hanya untuk dikorbankan dengan berdarah sedemikian rupa, bahwa Tuhan perlu menderita bagi umat manusia, ciptaan-Nya."
Dia kembali ke pertanyaan yang sangat mendasar dari keberadaan Tuhan. Setelah menganalisis karya para filsuf, seperti Wittgenstein, Pascal, Swinburn, dan Kant, ia memperoleh keyakinan intelektual dari keberadaan Tuhan.

Pertanyaan logis berikutnya, adalah bagaimana Tuhan berkomunikasi dengan manusia sehinggga mereka memperoleh panduan. Hal ini menyebabkan dia mengakui perlunya wahyu.

Tapi apa yang mengandung kebenaran, kitab suci: Yahudi, Kristen atau Islam?
Dia menemukan jawaban untuk pertanyaan ini, sebagai pengalaman penting yang ketiga, ketika ia menemukan ayat dari Al-Qur'an ini:

Seseorang tidak akan memikul dosa orang lain. (An-Najm 53:38).

Ayat ini membuka matanya dan memberikan jawaban atas dilemanya. Jelas dan tegas baginya, ini menolak ide-ide tentang beban "dosa asal" dan harapan "syafaat" dari orang-orang kudus.

''Seorang Muslim hidup di dunia tanpa pendeta dan tanpa hierarki keagamaan; ketika berdoa, ia tidak berdoa melalui Yesus, Maria, atau para 'orang kudus' lainnya, tetapi langsung kepada Allah - sebagai orang percaya yang terbebaskan sepenuhnya - dan ini adalah agama yang bebas dari misteri.'' - "A Muslim is the emancipated believer par excellence."

Karena itulah, saya melihat bahwa agama Islam adalah agama yang murni dan bersih dari kesyirikan atau adanya persekutuan Allah dengan makhluknya. ''Allah tidak beranak dan tidak diperanakkan,'' ujarnya.

Beliau menjadi mengerti, menyadari dan kemudian: "Akhirnya, pada hari aku mengaku iman saya dalam Islam, makna sebenarnya dari hidup saya menjadi jelas bagi saya." (dan selanjutnya 3/3).

Tidak ada komentar: