Aqidah Salafi dan Khalafi menurut Imam Al-Qurthubi


Al-Qurthubi atau Qurtubi adalah seorang Imam, Ahli hadits, Alim, dan seorang mufassir (penafsir) Al-Qur'an yang terkenal. Nama lengkapnya adalah "Abu 'Abdullah Muhammad bin Ahmad bin Abu Bakr Al-Anshari al-Qurthubi." Beliau berasal dari Qurthub (Cordoba, Andalusia, Spanyol) dan mengikuti madzhab Maliki dalam fiqih. Imam Qurthubi meninggal dunia dan dimakamkan di Mesir, pada Senin, 09 Syawal tahun 671 H.

Beliau sangat terkenal melalui karyanya sebuah Kitab Tafsir Al-Qur'an, yang dikenal sebagai Tafsir Al-Qurthubi, terdiri dari 20 jilid, dari judul aslinya:Al-Jami’ li ahkam al-Qur’an wa al-Mubayyin Lima Tadhammanahu Min as-Sunnah wa Ayi al-Furqan.

Karya-karya beliau lainnya adalah:
·         Al-Asna fi Syarh Asma’ Allah al-Husna
·         At-Tidzkar fi Afdhal al-Adzkar
·         Syar at-Taqashshi
·         Qam’ al-Hirsh bi az-Zuhd wa al-Qana’ah
·         At-Taqrib likitab at-Tamhid
·         Al-I’lam biima fi Din an-Nashara min al-Mafasid wa al-Auham wa Izhharm Mahasin Din al-Islam
·         At-Tadzkirah fi Ahwal al-Mauta wa umur al-Akhirah, diterjemahkan dalam bahasa Indonesia sebagai "Buku Pintar Alam Akhirat" [wikipedia].

Dalam Tafsir Al-Qurthubi jilid 7 hal. 219 (cetakan Dar Al-Kutub Al-Mishriyyah 1964), Imam Al-Qurthubi mengatakan:

قوله تعالى: (ثُمَّ اسْتَوى عَلَى الْعَرْشِ) هذه مسألة الاستواء، وللعلماء فيها كلام
وإجراء. وقد بينا أقوال العلماء فيها في الكتاب (الأسنى في شرح أسماء الله الحسنى وصفاته العلى) وذكرنا فيها هناك أربعة عشر قولا. والأكثر من المتقدمين والمتأخرين أنه إذا وجب تنزيه الباري سبحانه عن الجهة والتحيز فمن ضرورة ذلك ولواحقه اللازمة عليه عند عامة العلماء المتقدمين وقادتهم من المتأخرين تنزيهه تبارك وتعالى عن الجهة، فليس بجهة فوق عندهم، لأنه يلزم من ذلك عندهم متى اختص بجهة أن يكون في مكان أو حيز، ويلزم على المكان والحيز الحركة والسكون للمتحيز، والتغير والحدوث. هذا قول المتكلمين. وقد كان السلف الأول رضي الله عنهم لا يقولون بنفي الجهة ولا ينطقون بذلك، بل نطقوا هم والكافة بإثباتها لله تعالى كما نطق كتابه وأخبرت رسله. ولم ينكر أحد من السلف الصالح أنه استوى على عرشه حقيقة. وخص العرش بذلك لأنه أعظم مخلوقاته، وإنما جهلوا كيفية الاستواء فإنه لا تعلم حقيقته.
(Tafsir Al-Qurthubi jilid 7 hal. 219 cetakan Dar Al-Kutub Al-Mishriyyah 1964)

Artinya:
Firman Allah: (ثُمَّ اسْتَوى عَلَى الْعَرْشِ ) ini adalah masalah istiwa'. Para ulama mempunyai diskusi khusus dan uraian panjang lebar tentang ini. Kami sudah menjelaskannya dalam kitab “Al Asnaa fii Syarh Asmaa’ Allah Al Husna”, di sana kami menyebutkan ada empat belas pendapat. Pendapat kebanyakan dari kalangan mutaqaddimin dan muta’akhkhirin adalah bahwa Allah harus dibersihkan dari arah dan penempatan ruang. Maka, semua konsekuensinya juga harus dihilangkan. Demikian pendapat para ulama mutaqaddimin dan para pentolan dari kalangan muta’akhkhirin. Yaitu, membersihkan Allah dari sifat arah, sehingga Allah tidak berada di atas menurut mereka. Karena menurut mereka itu berkonsekuensi bahwa Allah bertempat atau menempati ruang. Kalau sudah menempati ruang berarti harus ada gerakan dan diam di tempat yang menaungi serta adanya perubahan dan hal-hal baru (evolusi). Ini adalah pendapat ulama mutakallimin.

Akan tetapi salaf al awwal (ulama salaf generasi pertama) -semoga Allah meridhai mereka- tidak pernah menafikan arah dan tidak pula membicarakannya. Justru mereka semua menetapkan itu semua bagi Allah sebagaimana disebutkan dalam kitab-Nya dan disampaikan oleh Rasul-Nya dan tidak ada seorangpun dari kalangan salafus shalih yang mengingkari bahwa Allah istiwa' (bersemayam) di atas arsy-Nya secara hakiki. Arsy dikhususkan untuk itu karena dia adalah makhluk Allah yang terbesar. Mereka hanya tidak tahu bagaimana kaifiyah (bentuk) istiwa' (bersemayam) itu, karena hal tersebut tidak diketahui bentuknya.”

Kemudian Al-Qurthubi juga berkata dalam kitabnya yang lain berjudul Al-Asna fii syarh Asma'il Allah Al-Husna juz 2 hal. 132 (
cetakan Dar Ash-Shahabah tahun 1995 M), dimana setelah menyebutkan adanya empat belas pendapat tentang makna istiwa beliau berkata:



وَ أظهر هذه الأقوال –وإن كنت لا أقول به ولا أختاره – ما تظاهرت عليه الآي والأخبار أن الله سبحانه على عرشه كما أخبر في كتابه وعلى لسان نبيه بلا كيف بائن من جميع خلقه. هذا جملة مذهب السلف الصالح فيما نقل عنهم الثقات حسب ما تقدم.

“Dan pendapat yang paling jelas adalah -meski aku tidak sependapat dan tidak memilihnya- adalah pendapat yang berlandaskan ayat dan hadits yang banyak bahwa Allah di atas Arsy-Nya sebagaimana yang diterangkan dalam Al-Kitab dan melalui lisan Nabi-Nya, tanpa kaifiyah, terpisah dari semua makhluk-Nya. Ini adalah pendapat ulama salaf shalih berdasarkan riwayat orang-orang terpercaya sampai kepada mereka, sebagaimana yang sudah dijelaskan.”

-----
Perhatikan dengan baik kalimat Imam Al-Qurthubi di atas. Dengan jelas beliau mengakui bahwa penetapan Allah di atas Arsy itu adalah pendapat para ulama Salaf. Meskipun beliau tidak menyetujui maupun memilih untuk mengikuti pendapat para ulama Salaf tersebut, namun beliau dengan jujur mengakui bahwa Aqidah Salafi adalah bahwa: “Allah di atas Arsy-Nya sebagaimana yang diterangkan dalam Al-Kitab dan melalui lisan Nabi-Nya, tanpa kaifiyah, terpisah dari semua makhluk-Nya.”

Hal ini berarti berbeda dengan Aqidah Khalafi yang beliau ikuti, yaitu bahwa: 'Allah ada tanpa tempat dan arah' (= tidak tahu jawaban pasti atas pertanyaan Sunnah: 'Dimanakah Allah?'). Keyakinan ini lebih dikenal sebagai Aqidah Aswaja Asy’ariyah-Maturidiyah, dinisbatkan pada Imam al-Asy’ari, yaitu dari berbagai pendapat Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari di fase kedua kehidupannya (dimana beliau mengikuti pemahaman Abu Muhammad Abdullah bin Said bin Kullab/ madzhab Kullabiyah), dan juga berbagai pendapat dari Abu Mansur al-Maturidi.

Adapun Imam al-Asy’ari sendiri akhirnya (di fase ketiga kehidupannya) sebagaimana beliau nyatakan sendiri dalam kitab Al-Ibanah ’An Ushulud Diyanah, beliau secara total meninggalkan madzhab Kullabiyah-Asy’ariyah, beralih ke madzhab Ahlu Sunnah wal Jama’ah, beraqidah Salafi sama seperti aqidah Imam Ahmad bin Hanbal. Mengikuti manhaj/ pemahaman para Salafush Shalih sebagai generasi terbaik untuk diikuti. Menetapkan Sifat-sifat Allah sebagaimana telah Allah Subhanahu wa Ta’ala tetapkan sendiri bagi diri-Nya dalam Al-Qur’an, atau telah dijelaskan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassallam dalam berbagai hadits, tanpa: tahrif, ta’thil, takyif dan tamtsil.

Jadi, ada dua pilihan, yaitu mengikuti Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama'ah-Salafiyah atau Aqidah Aswaja-Khalafiyah dalam sebagian penetapan Sifat-sifat Allah :)

Tidak ada komentar: