Mengenal 'Arab Revolt' (Pemberontakan Keluarga Sufi Melawan Turki Utsmani)


Semasa Perang Dunia I, Kekaisaran Ottoman atau Turki Utsmaniyah itu memihak Blok Sentral yang dimotori oleh Jerman, yang berperang melawan Sekutu. Adapun Inggris yang berada di pihak Sekutu saat itu mulai melancarkan strategi mengalahkan Turki Utsmaniyah dari dalam.

Sementara itu pemerintahan pusat Turki pun mulai menimbulkan berbagai ketidakpuasan dari daerah-daerah kekuasaan mereka, termasuk bangsa Arab. Ini dimulai pada tahun 1908, ketika Gerakan Turki Muda (Young Turks) menumbangkan kekuasaan Sultan Hamid II. Young Turks yang kebanyakan anggotanya adalah Donmeh/ crypto Jew, itu sendiri awalnya sebagai organisasi rahasia Zionis - B’nai B‘rith, yang didirikan oleh Yahudi Italia Emmanuel Carasso sejak 1890 di Salonika, bagian dari Turki, sekarang Yunani. Carasso adalah pemimpin Italian Free Masonic Lodge, dengan nama “Macedonia Resurrected”. 

Sejak saat itu Kekaisaran Turki Usmaniyah yang semula kosmopolitan dan toleran, dalam pengaruh Young Turks yang dikontrol Rothschild, mulai secara terang-terangan melakukan diskriminasi terhadap penduduk “non-Turki-nya”. Bangsa Arab khususnya dihadapkan dengan penganiayaan politik, budaya dan bahasa. [Bangsa Armenia di genosida, 1915 oleh crypto Jew Young Turks, bukan oleh Turki Usmaniyah]. Ketika memasuki Perang Dunia I di sisi Blok Sentral pada tahun 1914, Kekaisaran Turki telah melarang keras penggunaan bahasa Arab maupun mengajarkannya di sekolah-sekolah, juga menangkap banyak tokoh nasionalis Arab di Damaskus dan Beirut. [Apalagi setelah crypto Jew agen Rothschild lainnya, yaitu Mustafa Kemal Ataturk menjadi presiden Turki, 1923].


Orang Arab juga memandang pembangunan Hijaz Railway, yang menghubungkan Damaskus dan Makkah, sebagai ancaman yang dimaksudkan untuk memfasilitasi mobilitas pasukan Turki ke jantung Arab.


Syarif Husein
Pada bulan Juni 1916, Syarif Husein sebagai kepala nasionalis Arab, bersekutu dengan Inggris dan Perancis, memprakarsai pemberontakan besar 'Arab Revolt' melawan kekuasaan Turki Utsmaniyah. Syarif Husein sendiri, seorang Sufi Hasyimiyah, penguasa wilayah Hijaz (Makkah dan Madinah), memiliki cita-cita membebaskan bangsa Arab dari “penindasan” Kekhalifahan Turki Utsmaniyah yang memang sudah dianggap “sakit”.

Syarif Husein menjadi konseptor kebangkitan nasionalisme Arab, bertujuan untuk mendirikan sebuah negara tunggal bangsa Arab dari Aleppo hingga Aden. Putra-putra Syarif Husein, Abdullah dan Faisal, juga turun memimpin pasukan Arab menyerang hingga ke Aleppo.

Satu nama terkenal yang menjadi penasehat militer sekaligus sponsor atau kepanjangan tangan sekutu bagi keluarga Hasyimiyah melawan Kekaisaran Ottoman adalah agen Inggris (Rothschild) di Mesir, seorang crypto Jew, Thomas Edward Lawrence atau dikenal sebagai “Lawrence of Arabia”.


Faisal bin Husein (depan) dan T.E. Lawrence
dalam suatu pertemuan Paris 1919

Sedikit demi sedikit pemberontakan keluarga Hasyimiyah berhasil menaklukkan pasukan Turki di tanah Arab. Pasukan Faisal bin Husein dan sekutu Eropanya akhirnya berhasil membebaskan Damaskus dari pemerintahan Utsmani pada tahun 1918. Selain itu, Turki Utsmaniyah juga menderita kekalahan dalam Perang Dunia I.


Pemberontakan ini dimulai dengan penguasaan kota suci Mekah oleh Syarif Husein melalui pertempuran yang berlangsung mulai 10 Juni hingga 4 Juli, tahun 1916 melawan Ghalib Pasha (gubernur Turki Usmaniah wilayah Hijaz). Pertempuran berlangsung cukup singkat karena sebagian besar tentara Ottoman berada di Thaif, yang menjaga kota suci Mekah hanya sejumlah 1.000 orang, melawan 5.000 pasukan Syarif Husein plus bantuan Inggris Sir Reginald Wingate yang mengirimkan dua artileri dari Sudan melalui Jeddah dengan penembak terlatih dari Mesir.

Setelah Mekah dikuasai, kemudian dilanjutkan dengan pertempuran merebut Madinah. Kota suci kedua umat Islam ini dikepung oleh 30.000 tentara Syarif Husein dari tiga arah. Ini menjadi salah satu pengepungan terpanjang dalam sejarah yang berlangsung bahkan setelah akhir perang, yaitu selama dua tahun dan empat bulan (Oktober 1916 sampai 10 Januari 1919). Fakhruddin Pasha adalah pembela Madinah mewakili Turki Usmaniyah. Ia dijuluki sebagai "Singa Gurun" oleh Inggris untuk patriotisme di Madinah.

Madinah dikepung dari tiga arah (hm.. jadi ingat perang kandhaq). Dari arah timur di bawah komando Abdullah bin Husein, arah selatan diperintahkan oleh Ali bin Husein, dan dari arah utara, dipimpin oleh Faisal bin Husein, masing-masing sebanyak 10.000 tentara. Tentara ini memiliki campuran perwira Inggris dan Perancis yang menyertainya, yang memberikan bantuan teknis militer. Salah satu perwira ini adalah T. E. Lawrence.

Umar Fakhruddin Pasha
Garnisun Ottoman di Madinah, yang dipimpin Umar Fahruddin Pasha dengan gigih membela kota suci ini. Fahruddin Pasha tidak hanya harus mempertahankan kota suci Madinah, tetapi juga melindungi single-track yang sempit dari Hijaz Railway dari serangan sabotase oleh T.E. Lawrence dan pasukannya, di mana seluruh logistiknya tergantung jalur kereta api ini. Garnisun Turki terisolasi di stasiun kereta kecil dan bertahan dalam serangan malam secara terus menerus dan harus menjaga lintasan rel ini terhadap meningkatnya jumlah sabotase (sekitar 130 serangan besar pada tahun 1917 dan ratusan tahun 1918 termasuk peledakan lebih dari 300 bom pada 30 April 1918).

Saat Kekaisaran Ottoman mengundurkan diri  dari perang dengan Gencatan Senjata Mudros (30 Oktober 1918), diharapkan bahwa Fahreddin Pasha juga akan menyerah. Ia menolak dan tidak menyerah bahkan setelah akhir perang meskipun ada permohonan dari Sultan Ottoman. Namun akhirnya, orang-orangnya menghadapi kelaparan karena kurangnya pasokan, sehingga garnisun yang tersisa termasuk Fahreddin Pasha menyerah pada tanggal 10 Januari 1919. Mulai saat inilah terbentuk kerajaan Hijaz, dipimpin Raja Syarif Husein (1919-1923). 

Pemicu 'Arab Revolt' selain hal di atas, terlebih juga sangat dipengaruhi oleh lobi Inggris (Rothschild) dalam meyakinkan Syarif Husein untuk segera memberontak melawan Turki. Dalam korespondensi antara Sir Henry McMahon (pejabat Inggris di Mesir) dan Syarif Husein, pada tahun 1915-1916, Inggris terus membujuk pemberontakan Arab dan berjanji akan mendukung semuanya, hingga Arab memperoleh kedaulatan setelah merdeka dari Turki. Ketidaksepakatan keduanya hanya soal wilayah-wilayah mana yang akan menjadi milik pasukan Arab nanti.


Inggris dan Perancis sendiri sudah memiliki agenda rahasia untuk memecah-mecah wilayah Utsmaniyah, yaitu melalui perjanjian rahasia Sykes-Picot (1916). Melibatkan kekaisaran Rusia, mereka sepakat berbagi wilayah Turki yang digariskan batas-batasnya. Untuk kawasan Arab, Inggris akan mendapatkan Trans Jordan dan Irak, sementara Perancis mendapat Suriah dan Lebanon. Serta satu wilayah khusus yang disebut Palestina di bawah pengawasan internasional. 

Tentu saja isi perjanjian Sykes-Picot ini bertentangan dengan janji-janji Inggris sebelumnya terhadap pihak Syarif Husein, bahkan dinilai menguntungkan Zionis. Apalagi muncul deklarasi Balfour (1917), dimana menteri luar Inggris Arthur James Balfour mengirimkan surat kepada Rothschild, menjanjikan tanah bagi Yahudi (Zionis) di wilayah Palestina.

Pasca kalahnya Turki, perjanjian Sykes-Picot direalisasikan dengan sedikit perubahan dalam prakteknya. Kemudian di tahun 1919, diadakan perjanjian Faisal-Weizzman (tokoh Zionis), yang intinya bahwa melalui dirinya (Faisal bin Husein), bangsa Arab setuju masuknya orang Yahudi ke kawasan Palestina untuk memajukan perekonomian setempat.

Keluarga Hasyimiyah di bawah Faisal bin Husein sempat mengklaim pemerintahan kerajaan Arab pada tahun 1918 yang berpusat di Damaskus, Suriah. Namun kerajaan ini tidak disukai Perancis, sehingga pada tahun 1920 Suriah direbut oleh Perancis dalam perang Misalun. Suriah ditetapkan sebagai mandat Perancis di Suriah dan Lebanon oleh Liga Bangsa-Bangsa (LBB). Saudara Faisal, Abdullah bin Husein, sempat berencana untuk merebut kembali Suriah, namun diurungkan karena mandat Perancis diakui dunia Barat (saat itu). 

Setelah digusur di Suriah oleh Perancis, Faisal kemudian diberi kekuasaan di wilayah Irak yang telah berada di bawah mandat Inggris, dimana Inggris adalah sekutunya. Penguasaan wilayah di Irak oleh Faisal dan keluarganya ini berstatus semi otonom, hingga selanjutnya merdeka dari Inggris pada tahun 1932. Tetapi setelah kematiannya (8/9/1933, usia 48, bukan karena serangan jantung, tetapi karena racun Arsenik saat melakukan general medical chekup yang disarankan oleh Rothschild, di Bern, Switzerland) kondisi politik di Irak mulai memanas. Akhirnya, jejak kerajaan Hasyimiyah di Irak tak tersisa setelah kekuasaan Faisal II dihancurkan oleh kaum nasionalis kiri pada 1958.

Hampir bersamaan dengan Irak yang diberikan kepada Faisal, Inggris juga menyerahkan wilayah Trans Jordan kepada Abdullah bin Husein. Hingga mandat Inggris berakhir, Yordania sepenuhnya di bawah keluarga raja Abdullah I. Sekarang keluarga Hasyimiyah hanya berkuasa atas negara Yordania.


Perbandingan Luas Wilayah antara Kerajaan Hijaz dan Saudi Arabia 

Adapun Hijaz (Makkah dan Madinah), Alhamdulillah! telah disatukan dengan wilayah yang lebih luas dan sangat kaya minyak bumi, yaitu Riyadh (Nejd) sehingga membentuk sebuah negara yang sangat luas dan makmur, Arab Saudi, sejak tahun 1925 oleh dinasti Saud (gambar di atas). Luas dan kaya rayanya negeri Arab Saudi ini sangat menguntungkan umat Islam di seluruh dunia, terutama terkait dengan pelaksanaan berbagai ibadah di tanah suci, di negeri yang berpaham Ahlus Sunnah wal Jama’ah-Salafiyah (Hanabilah-Wahhabiyah) ini.

Syarif Husein sebagai sang pencetus 'Arab Revolt' melawan Kekhalifahan Turki Utsmaniyah saat itu meninggalkan Hijaz (1924), setelah terdesak oleh pasukan muwahhid Ibnu Saud. Saat itu Inggris tidak membantunya (Inggris terikat dengan Treaty of Darin, 1915 dengan Ibnu Saud, dilanjutkan dengan Treaty of Jeddah, 1927). Syarif Husein meninggalkan putranya, yaitu Ali atas kontrol Makkah, dan ia pergi terasing ke Siprus dan kemudian wafat (1931) di Amman, Yordania. (Sumber: http://www.kinghussein.gov.jo/his_arabrevolt.html etc.). 

Tidak ada komentar: